Sunday, December 2, 2012

FUNGSI PENCIPTAAN GUNUNG DALAM AL-QUR'AN


Fungsi Penciptaan GunungPenciptaan dan desain alam ini tidaklah tanpa perhitungan atau terbentuk hanya kebetulan saja. Dialah Allah yang telah merancang semua ini sehingga tertata rapi dan Allah pun memberikan fungsi pada setiap makhluknya. salah satunya adalah gunung.

Al Qur’an mengarahkan perhatian kita pada fungsi geologis penting dari gunung. Allah berfirman :

وَجَعَلْنَا فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِهِمْ وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ

Artinya : "Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung- yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk." (QS Al-Anbiya' : 31)

Sebagaimana terlihat, dinyatakan dalam ayat tersebut bahwa gunung-gunung berfungsi mencegah goncangan di permukaan bumi.

Kenyataan ini tidaklah diketahui oleh siapapun di masa ketika Al Qur’an diturunkan. Nyatanya, hal ini baru saja terungkap sebagai hasil penemuan geologi modern.

Menurut penemuan ini, gunung-gunung muncul sebagai hasil pergerakan dan tumbukan dari lempengan-lempengan raksasa yang membentuk kerak bumi. Ketika dua lempengan bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya, sementara yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah bergerak di bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini berarti gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya dengan yang tampak di permukaan bumi.

Dalam tulisan ilmiah, struktur gunung digambarkan sebagai berikut:

Pada bagian benua yang lebih tebal, seperti pada jajaran pegunungan, kerak bumi akan terbenam lebih dalam ke dalam lapisan magma. (General Science, Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 305)
Dalam sebuah ayat, peran gunung seperti ini diungkapkan melalui sebuah perumpamaan sebagai "pasak":

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا # وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا

Artinya : "Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?" (QS An-Naba' : 6-7)

Dengan kata lain, gunung-gunung menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi dengan memanjang ke atas dan ke bawah permukaan bumi pada titik-titik pertemuan lempengan-lempengan ini. Dengan cara ini, mereka memancangkan kerak bumi dan mencegahnya dari terombang-ambing di atas lapisan magma atau di antara lempengan-lempengannya. Singkatnya, kita dapat menyamakan gunung dengan paku yang menjadikan lembaran-lembaran kayu tetap menyatu.

Fungsi pemancangan dari gunung dijelaskan dalam tulisan ilmiah dengan istilah "isostasi". Isostasi bermakna sebagai berikut:

Isostasi: kesetimbangan dalam kerak bumi yang terjaga oleh aliran materi bebatuan di bawah permukaan akibat tekanan gravitasi. (Webster's New Twentieth Century Dictionary, 2. edition "Isostasy", New York, s. 975)

Peran penting gunung yang ditemukan oleh ilmu geologi modern dan penelitian gempa, telah dinyatakan dalam Al Qur’an berabad-abad lampau sebagai suatu bukti Hikmah Maha Agung dalam ciptaan Allah. Dan Allah berfirman :

وَجَعَلْنَا فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِهِمْ وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ

Artinya : "Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk." (QS Al-Anbiya' : 31)

GUNUNG DALAM PERSPEKTIF ISLAM

  A. Sejarah gunung berapi
            Gunung berapi terbentuk dari gunung-gunung muncul sebagai hasil pergerakan dan tumbukan dari lempengan-lempengan raksasa yang membentuk kerak bumi. Ketika dua lempengan bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya, sementara yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah bergerak di bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini berarti gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya dengan yang tampak di permukaan bumi.
            Dengan kata lain, gunung-gunung mencengkeram lempengan-lempengan kerak bumi dengan memanjang ke atas dan ke bawah permukaan bumi pada titik-titik pertemuan lempengan-lempengan ini. Dengan cara ini, mereka memancangkan kerak bumi dan mencegahnya dari terombang-ambing di atas lapisan magma atau di antara lempengan-lempengannya. Singkatnya, kita dapat mengumpamakan gunung dengan paku yang menyatukan bilah-bilah papan1.
           
  B. Fungsi gunung
            Gunung merupakan dataran atau permukaan bumi yang tinggi2.Namun menurut Ensiklopedi Britannica,tidak semua dataran atau permukaan bumi yang tinggi disebut gunung.Tetapi apabila permukaan itu lebih dari 2000 kaki (610 m)maka itu disebut gunung.Biasanya gunung lebih curam dari lembah.Namun,memiliki beberapa kesamaan.penggunaan kata gunung sering tergantung pada adat istiadat.Sejak kecil,kita selalu menjadikan gunung sebagai objek gambar kita.ini dikarenakan,karena gunung memiliki pemandangan yang indah untuk dijadikan objek gambar kita.Namun,disamping berfungsi sebagai objek gambar yang indah,gunung juga memiliki fungsi lain

FASE-FASE HUBUNGAN ISLAM DAN SAINS

Untuk mendeskripsikan hubungan antara Islam dan sains dalam Peradaban Islam pada abad kedelapan sampai enam belas, pembahasan ini mengeksplorasi perkembangan spesifik cabang sains tertentu. Tentu saja bagian ini bukan sejarah yang komprehensif dari tradisi ilmiah Islam, tetapi hanya deskripsi perkembangan tertentu setiap cabang sains yang memiliki hubungan langsung dengan agama. Beberapa cabang sains (seperti mekanika) tidak ada hubungannya secara langsung dengan agama, sedangkan yang lainnya (seperti kosmologi dan geografi) memiliki hubungan langsung dengan agama dan karenanya memerlukan perhatian lebih mendalam.

Kosmologi, Kosmogoni, dan Kosmografi
Tidak ada cabang dari sains yang memiliki hubungan secara langsung dengan kepercayaan agama selain kosmologi—ilmu yang berhubungan dengan asal-usul dan pengembangan alam semesta. Namun, adanya hubungan langsung itu sendiri masih membingungkan. Apa yang dimaksud dengan kosmologi pada saat ini seluruhnya berbeda dengan yang dimaksud pada abad kedelapan. Penggunaan istilah yang serupa dalam wacana sains, filsafat, dan agama juga menambah kebingungan. Sebagai contoh, apa yang dimaksud Aristoteles dengan celestial region tidak sama menurut pendapat para Sufi, meskipun keduanya menggunakan istilah celestial untuk menunjukkan wilayah di luar zona terrestrial. Celestial region menurut para Sufi dihuni oleh entitas tertentu yang memiliki karakteristik tertentu, pendapat ini sangat berbeda dengan Aristoteles. Kosmologi, tentu saja mengalami perkembangan secara filosofi selama periode Yunani, tradisi ilmiah Islam, dan bahkan sampai sekarang. Banyak data eksperimental telah ditemukan yang menjadi fondasi langsung pada pertanyaan tentang asal-usul kosmos, utamanya secara teoritis.

Kepercayaan kosmologis Islam berakar kepada Al-Quran yang berurusan secara ekstensif dengan masalah ini. Jadi, pertanyaan utamanya adalah bagaimana pemahaman mufassir, filsuf, dan ilmuwan selama periode tersebut (abad kedelapan sampai enam belas) terhadap ayat-ayat kosmologis yang disebut Al-Quran. Perdebatan muncul karena adanya ketegangan ketika masuknya kosmologi Aristotelian ke dalam tradisi Islam yang selanjutnya menghasilkan doktrin kosmologis tertentu.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Al-Quran memperlakukan seluruh apa yang diciptakan sebagai tanda (sign), ayat. Hal ini termasuk alam semesta dan semua yang ada di dalamnya. Menurut definisinya, ayat merujuk kepada sesuatu selain dirinya sendiri. Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif Al-Quran, alam semesta dan semua yang ada di dalamnya merupakan tanda-tanda Sang Pencipta yang diciptakan melalui perintah sederhana: Jadilah (be, kun) (QS. 36:82). Meskipun Al-Quran memberikan penjelasan yang sangat spesifik mengenai penciptaan kosmos, ia tidak memberitahu kita dengan apa dibuatnya atau kapan. Selain itu, penting untuk diingat bahwa alam semesta menurut Al-Quran bukan hanya materi fisik yang terdiri dari bintang-bintang, planet dan entitas fisik lainnya; tetapi juga mencakup kosmos spiritual yang dihuni oleh entitas nonfisik. Kosmos nonfisik itu terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi yang tak terhitung dan jauh lebih unggul dari alam fisik yang menempati posisi relatif rendah dalam tingkat eksistensi.

AKSIOLOGI SAINS ISLAM DAN BARAT

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu merupakan hasil karya perorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat, dengan kata lain, ilmu diciptakan oleh perseorangan dan bersifat individual, namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat social (Suriasumantri, 1995:237). Menurut Sondang P Siagian dalam Ahmad Tafsir (2007: 25), ilmu adalah suatu objek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, rumus, yang melalui percobaan sistematis dan dilakukan berulang kali, telah teruji kebenarannya; prinsip-prinsip, dalil-dalil, rumus-rumus mana dapat diajarkan dan dipelajari. Dengan adanya kemajuan di bidang keilmuan, pemenuhan kebutuhan manusia menjadi lebih cepat dan lebih mudah dilakukan. Mohammad Hatta mendefinisikan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hokum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menrut kedudkannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam (Kallsolt, 2004:15)
Saat ini ilmu bahkan telah berada di ambang kemajuan yang teramat pesat, sehingga bahkan mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri, jadi, ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan juga dapat mungkin merubah hakikat kemanusiaan. ia bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan mungkin dapat mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri (Suriasumantri, 1995:231).

ONTOLOGI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. PENDAHULUAN
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi yang tertua di antara segenap filsafat Yunani yang kita kenal adalah Thales. Atas perenungannya terhadap air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu.
Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat adalah realitas; realita adalah ke-real-an, Riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab "apa " yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda.
Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani: On = being, dan Logos = logik. Jadi Ontologi adalah The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Louis O.Kattsoff dalam Elements of Filosophy mengatakan, Ontologi itu mencari ultimate reality dan menceritakan bahwa di antara contoh pemikiran ontologi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa airlah yang menjadi ultimate subtance yang mengeluarkan semua benda. Jadi asal semua benda hanya satu saja yaitu air”.
Sidi Gazalba dalam bukunya Sistematika Filsafat mengatakan, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu ia disebut ilmu hakikat, hakikat yang bergantung pada pengetahuan. Dalam agama ontologi memikirkan tentang Tuhan.
Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan, ontologi berasal dari kata ontos = sesuatu yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logika semata-mata.

Monday, October 15, 2012

EPISTIMOLOGI BAYANI, BURHANI DAN IRFANI

 Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada [bayani, irfani dan burhani ], dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani [kasyf] yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio [ burhani ] secara optimal.
Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio [akal], tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini, telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia
Dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan epistemologi yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan berarti pengabaian terhadap teks [nash]. Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia.
Manusia dan akalnya adalah penentu dalam perkembangan kehidupan setelah adanya patokan-patokan nash. Tetapi patokan ini, terutama yang diberikan al-Qur’an masih bersifat global. Hal ini bertujuan agar memberikan kekuasaan bagi manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman yang terus berubah
Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.

Friday, October 12, 2012

PANDANGAN ISLAM TERHADAP SAINS

Islam adalah agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk mengerahkan segala kemampuannya dalam menggunakan akalnya serta memikirkan segala apa yang ada di alam semesta ini.  Hal ini sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Qur’an surat Ar-Rahman ayat 33 yang artinya “Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. Dalam ayat tersebut Allah saw memberikan kesempatan kepada manusia untuk melakukan pemikiran (menggunakan aklnya) dan eksplorasi terhadap alam semesta. Upaya penaklukan ruang angkasa harus dilihat sebagai suatu ibadah manusia yang ditujukan selain untuk memahami rahasia alam, juga demi masa depan kehidupan manusia.
Menurut Muhammad Ismail sebagaimana dikutip oleh Sudjana (2008 : 12) mengatakan bahwa pemahaman Islam tidak lain adalah pemikiran-pemikiran yang memiliki penunjukan-penunjukan nyata, yang dapat ditangkap dengan logika selama masih dalam batas jangkauan akalnya. Namun, bila hal-hal tersebut berada diluar jangkauan akalnya, maka hal itu ditunjukan secara pasti oleh sesuatu yang dapat diindera, tanpa rasa keraguan sedikitpun. Dengan demikian peranan akal bagi manusia sangatlah penting dan mendasar karena dengan akalnya ia dapat menentukan yang terbaik bagi dunia dan akhirantnya kelak.