Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif
sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga
kecenderungan epistemologis yang ada [bayani, irfani dan burhani ], dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani [kasyf] yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio [ burhani ] secara optimal.
Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio [akal],
tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada.
Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini, telah menimbulkan
stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon
perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani
selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal
menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya
secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta
pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa
harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan
epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa
magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia
Dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam
dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan epistemologi
yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan berarti pengabaian terhadap teks [nash]. Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia.
Manusia dan akalnya adalah penentu dalam perkembangan kehidupan setelah adanya patokan-patokan nash.
Tetapi patokan ini, terutama yang diberikan al-Qur’an masih bersifat
global. Hal ini bertujuan agar memberikan kekuasaan bagi manusia
menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman yang terus berubah
Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani
ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka,
tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para
ilmuan Barat.
Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang
jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa
menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi
[terasing] dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia
modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan
atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka
miliki. Mereka menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [
jiwa ] mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang
dalam diri mereka.
Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr]
ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat
menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan
bantingan sejarah. Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat
yang berpegang kepada kedua pilar ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu menintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr,
juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al Qur’an dinilai
sebagai khairan katsiran. Perpaduan antara pikiran dan rasa ini
merupakan prasyarat mutlak dalam membangun peradaban Islam dan dunia
yang cemerlang. Dalam ungkapan Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq
harus diintegrasikan secara mantap bila mau membangun peradaban modern
yang segar. Sesuatu yang tentunya sangat diidamkan oleh umat manusia,
dan disinilah semestinya peran yang harus dimainkan umat Islam untuk
memerikan kontribusinya bagi peradaban umat manusia secara keseluruhan.
Epistimologi Bayani
Secara etimologi, bayani mempunyai arti menyambung, memisah-misahkan,
terang dan jelas, kefasihan dan kemampuan dalam menyampaikan, serta
kekuatan untuk menerima dan menyampaikan kejelasan.
Sedangkan secara terminologi, dengan mengutip pendapat al-Jahiz dalam kitabnya al-Bayan wa al-Tabyin,
al-Jabiri mengartikannya sebagai nama universal (ism jami’) bagi
setiap pemahaman makna, sedangkan apabila merujuk kepada pendapat
al-Syafi’i, bayani merupakan nama universal bagi makna-makna yang
terdapat dalam kumpulan landasan pokok (al-ashl) dan mengurai cabang
(al-furu’).
Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu
yang berpangkal dari bahasa Arab (yaitu nahwu, fikih dan ushulfikih,
kalam dan balaghah).
Dalam sejarahnya, aktivitas bayani sudah dimulai sejak munculnya
pengaruh Islam, tetapi belum merupakan kajian ilmiah seperti
identifikasi keilmuan dan peletakkan aturan penafsiran teks. Tahap
selanjutnya adalah mulai munculnya usaha untuk meletakkan aturan
penafsiran wacana bayani, tetapi masih terbatas pada pengungkapan
karakteristik ekspresi bayani dalam AL Qur’an. Dalam bahasa Arab sendiri
bayani terbatas pada tinjauan bahasa dan gramatikanya saja. Proses
peletakan aturan-aturan penafsiran wacana bayani (dalam bentuknya yang
baku dan tidak dalam aspek linguistiknya saja) dilakukan oleh Imam al
Syafi’i. Imam Syafi’I adalah orang yang pertama memposisikan al Sunnah
sebagai nash kedua. Nash tersebut berfungsi sebagai mushari’ (penetap
hukum), perluasan cakupan al Sunnah yang dengan tidak secara tegas
membedakan antara “sunnah-tradisi” dan “sunnah-wahyu” serta pembatasan
ruang gerak ijtihad dengan nash (Al Qur’an dan Al Sunnah).
Al Syafi’I berhasil membakukan cara-cara berfikir yang menyakut hubungan antara
lafaz dan makna serta hubungan antara bahasa dan teks al-Qur’an. Ia
juga merumuskan aturan-aturan bahasa Arab sebagai acuan untuk
menafsirkan al-Qur’an. Ia menjadikan al-Qur’an, Hadis,Ijma dan Qiyas
sebagai sumber penalaran yang absah untuk menjawab persoalan-persoalan
dalam masyarakat.
Sedangkan al-Jahiz berusaha mengembangkan bayani tidak hanya terbatas
pada “memahami” tetapi berusaha membuat pendengar atau pembaca faham
akan wacana. Bahkan ia ingin membuat pendengar memahami, menenangkan
pendengar, menuntaskan perdebatan dan membuat lawan bicara tidak
berkutik lagi. Ibn Wahab sendiri berusaha untuk mensistematikanya denagn
cara merumuskan kembali teori bayani sebagai metode dan sistem
mendapatkan pengatahuan.
Jadi pada kesimpulannya dalam epistimologi bayani sumber pengetahuan
berasal dari teks atau nash. Pendekatan yang digunakan adalah dengan
pendekatan lughawiyah. Sementara metode yang dipakai adalah qiyas,
istinbat, tajwiz, ‘adah. Sehingga peran akal disini memang
terjustifikasi karena menggunakan argumen yang bersifat jadaliyyah.
Sesuatu dapat dikatakan valid jika adanya kedekatan teks dan kenyataan.
Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat
diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks.
Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah
kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang
terkandung di dalamnya.
Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat,
maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi
atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya,
pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih,
lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada
Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang
berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena
otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks,
sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain.
Epistemologi ‘Irfani
Kata ‘irfan adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang berarti
ma’rifah (ilmu pengetahuan. Kemudian ‘irfan lebih dikenal sebagai
terminologi mistik yang secara khusus berarti “ma’rifah” dalam
pengertian “pengetahuan tentang Tuhan]”. Kalau ilmu (pengetahuan
eksoterik) yakni pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui
istidlal, nazhar, dan burhan, maka ‘irfan (pengetahuan esoterik) yaitu
pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, i’iyan (persepsi
langsung), dan isyra.
Aliran-aliran yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan memiliki
kesatuan pandangan dalam permasalahan yang esensial dan substansial ini
dimana mereka menyatakan bahwa pencapaian dan penggapaian hakikat
segala sesuatu hanya dengan metode intuisi mistikal dan penitian
jalan-jalan pensucian jiwa, bukan dengan penalaran dan argumentasi
rasional, karena hakikat suatu makrifat dan pengatahuan adalah menyelami
dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur penyingkapan, penyaksian,
intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan penyaksian alam
metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta penyatuan
dengannya.
Para sufi beranggapan bahwa segala makrifat dan pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah
lebih dekat dengan kebenaran daripada ilmu-ilmu yang digali dari
argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Mereka menyatakan bahwa
indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah
lahiriah alam dan manifestasi-manifestasi-Nya, namun manusia dapat
berhubungan secara langsung (immediate) yang bersifat intuitif
dengan hakikat tunggal alam melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri
dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci,lepas,
dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan
ketergantungan-ketergantungan lahiriah.
Epistemologi Burhani
Al-Burhan dalam bahasa Arab berarti argumen yang clear . Dalam
pengertian logika, al-burhan adalah aktivitas fikir yang menetapkan
kebenaran sesuatu melalui penalaran dengan mengkaitkan pada pengetahuan
yang bukti-buktinya mendahului kebenaran. Sedangkan dalam pengertian
umum, al-burhan berarti aktivitas fikir untuk menetapkan kebenaran
sesuatu.
Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai sebutan terhadap sistem
pengetahuan yang berbeda dengan metode pemikiran tertentu dan
memiliki world view tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni
sistem pengetahuan lain. Burhani mengandalkan kekuatan indera,
pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran.
Ketiga kecenderungan epistemologis Islam ini, secara teologis
mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak
ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang
bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan
berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu
indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi, meskipun demikian,
tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkapkan tentang
pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati atau perasaan) terdalam.
Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu,
dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya
bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi
akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan
kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah
pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen
logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode
diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks
dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya,
menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan
tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah).
Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas
sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya
(thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada
dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri,
ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya
sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan.
Source : http://blog.umy.ac.id/aufklarung/2011/11/29/epistimologi-bayani-burhani-dan-irfani/
No comments:
Post a Comment