Sunday, December 2, 2012

AKSIOLOGI SAINS ISLAM DAN BARAT

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu merupakan hasil karya perorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat, dengan kata lain, ilmu diciptakan oleh perseorangan dan bersifat individual, namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat social (Suriasumantri, 1995:237). Menurut Sondang P Siagian dalam Ahmad Tafsir (2007: 25), ilmu adalah suatu objek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, rumus, yang melalui percobaan sistematis dan dilakukan berulang kali, telah teruji kebenarannya; prinsip-prinsip, dalil-dalil, rumus-rumus mana dapat diajarkan dan dipelajari. Dengan adanya kemajuan di bidang keilmuan, pemenuhan kebutuhan manusia menjadi lebih cepat dan lebih mudah dilakukan. Mohammad Hatta mendefinisikan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hokum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menrut kedudkannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam (Kallsolt, 2004:15)
Saat ini ilmu bahkan telah berada di ambang kemajuan yang teramat pesat, sehingga bahkan mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri, jadi, ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan juga dapat mungkin merubah hakikat kemanusiaan. ia bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan mungkin dapat mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri (Suriasumantri, 1995:231).

Filsafat sebagai kumpulan teori filsafat digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia pemikiran. selain itu, filsafat juga dipandang sebagai pandangan hidup yang berfungsi mirip seperti agama. Disinilah kemudian filsafat sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik secara lengkap tentang seluruh realitas, memberi manfaat dengan mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh dapat dipahami sumber, hakikat, dan tujuan ilmu (Kallsolt, 2004:21).

PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios, yang berarti nilai dan logos yang berarti teori, jadi aksiologi adalah teori tentang nilai (Salam, 1997:168). Menurut Bramel, aksiologi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama, moral conduct, yakni tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika. kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan. ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik (Jalaluddin, 1997: 106). Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kallsolt, 2004:318). Tafsir (2007: 25) berpendapat bahwa aksiologi adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas mulai dari klasifikasinya, kemudian dengan melihat tujuan pengetahuan itu sendiri, akhirnya dilihat perkembangannya. Adapun Suriasumantri menyatakan bahwa aksiologi merupakan nilai kegunaan ilmu, dan untuk apa ilmu itu dipergunakan. pertanyaan landasan aksiologis yaitu, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? bagaimana penentuan objek dan metode yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? bagaimana korelasi antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral? (Suriasumantri, 1995:33). Objek telaah aksiologi adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas milai dari klasifikasinya, tujuan pengetahuan serta perkembangannya, jadi,yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan, bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika, bagaimana penentuan objek yang diteliti secara moral, bagaimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral (Tafsir, 2007:11).
Dalam penerapannya, ilmu dapat dibedakan menjadi (Achmadi, 2004:28):
1. Ilmu murni (pure science), yaitu ilmu tersebut hanya murni bermanfaat untuk ilmu itu sendiri dan berorientasi pada teoritisasi, dalam arti ilmu pengetahuan murni tersebut terutama bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak yakni untuk mempertinggi mutunya
2. Ilmu praktis (applied science). Ilmu tersebut praktis langsung dapat diterapkan kepada masyarakat karena ilmu itu sendiri betujuan untuk mempergunakan hal ikhwal ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat banyak dan dilakukan untuk membantu masyarakat dalam menghadapi masalah-masalah yang dihadapinya
3. Ilmu campuran,yaitu ilmu yang selain ilmu murni juga merupakan ilmu terapan praktis karena dapat langsung dipergunakan dalam kehidupan masyarakat umum.
Sedangkan dalam fungsi kerjanya, ilmu dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Ilmu teoritis rasional, misalnya dogmatis hukum
2. Ilmu empiris praktis, misalnya dalam pekerjaan sosial atau dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
3. Ilmu teoritis empiris, yaitu yang menggabungkan keduanya, dengan menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif.
Dari beberapa definisi aksiologi diatas, terlihat bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika (Tafsir, 2007:165).
B. Aksiologi Sains Barat
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan beragam kemudahan bagi kehidupan manusia. Namun selain itu, di pihak lain ilmu juga dapat berakibat sebaliknya yaitu membawa kehancuran dan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada dasarnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan apakah berkaitan erat dengan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nilai moral dan agama sebenarnya sudah terbantahkan ketika Copernicus (1473-1543) mengemukakan teori bumi yang berputar mengelilingi matahari, sedangkan ajaran agama pada saat itu menilai sebaliknya. Disitulah timbul konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik, yang akhirnya berujung pada pengadilan Galileo (1564-1642) yang dipaksa mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Pengadilan Inkuisisi yang berlangsung selama kurang lebih dua setengah abad ini mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini, para ilmuwan Barat berjuang untuk menegakkan ilmu berdasar penafsiran alam sebagaimana semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Setelah pertarungan itulah para ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu, artinya kebebasan dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya (Suriasumantri, 1995:233).
Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatic, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret seperti teknologi. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana dengan teknologi yang menimbulkan ekses yang negative terhadap masyarakat? Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses ilmu yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat:
1. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai. dalam hal ini, ilmuwan hanya menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk hal yang baik maupun buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total.
2. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral dan harus ditujukan untuk kepentingan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan, dengan alasan bahwa ilmu secara faktual telah digunakan secara destruktif oleh manusia,yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi-teknologi keilmuan; ilmu telah berkembang dengan pesat sehingga ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan; dan ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial (Suriasumantri, 1984:235).
Dalam kaitannya dengan kaidah moral,pengembangan ilmu dan teknologi jika mengabaikan nilai-nilai etis maka akan menimbulkan dampak buruk. Penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengintai kenyamanan dan privasi orang lain, penemuan bayi tabung dapat mengancam peradaban perkawinan, maupun contoh lainnya.
C. Aksiologi Sains Islam
Sejak awal kehadirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Wahyu pertama yang diturunkan pada Rasulullah Muhammad adalah "iqra'" atau perintah untuk membaca. Jibril memerintah Muhammad untuk membaca dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Jadi, dari kata iqra' inilah, umat Islam diperintah untuk membaca yang kemudian lahir makna untuk memahami, mendalami, menelaah, menyampaikan, maupun mengetahui dengan dilandasi "bismi rabbik", dalam arti, hasil-hasil bacaan dan pemahaman itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan (Shihab, 2001:433). Al Qur’an dan hadits kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spectrum yang seluas-luasnya (Achmadi, 2005:33)
Ilmu pengetahuan dalam sejarah tradisi Islam tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, melainkan pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya.Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh. Eksistensi ilmu pengetahuan bukan saja untuk mendesak pengetahuan, melainkan kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Yang Maha Pencipta. Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteknya, dan agama yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada praksisnya atau kemudahan-kemudahan pada material duniawi. Solusi yang diberikan Al Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikan dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam, bukan sebaliknya membawa mudharat atau penderitaan (Tafsir, 1997:173). Ilmu tidaklah bebas nilai, karena antara logika dan etika harus berdialektika, jadi bukan hanya penggabungan ilmu dan agama saja. Akal digunakan dengan mengoperasionalkan otak, berusaha mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan masing-masing. Hal ini akan menimbulkan logika yang menjadikan manusia sebagai seorang intelektual atau ilmuwan. Dalam Islam, ilmu senantiasa didasarkan pada Al Qur'an agar tidak bebas nilai. Nilai dalam Islam tidak berdasarkan sesuatu adat dan budaya tetapi berdasarkan wahyu dan kehendak Allah. Melakukan yg wajib adalah diperintah oleh Allah dan disukaiNya sehingga mendapat ganjaran kebajikan. adapun jika melakukan yang haram dan dibenci oleh Allah maka pantas baginya balasan yang buruk.
Seorang ilmuwan muslim tidak hanya diharapkan berkata benar,namun juga baik,indah dan bernilai, misalnya jika seorang ilmuwan sekuler berkata bahwa untuk bebas dari penyakit kelamin harus memakai kondom jika berhubungan dengan pelacur, maka ilmuwan muslim berkata bahwa berhubungan dengan pelacur itu dilarang dalam islam. Contoh lain dari kebenaran akal yang tidak beretika moral misalnya menceraikan istri yang tidak dapat memberi anak, sistem perang atau jihad yang tidak berperikemanusiaan, menampar murid yang tidak bisa menjawab soal, dan lainnya.
Prinsip-prinsip semua ilmu dipandang oleh kaum muslimin berada dalam Al Qur'an, dan Al Qur'an dan hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan keutamaan menuntut ilmu, dan pencarian ilmu apapun pada akhirnya bermuara pada penegasan tauhid. Dalam perjalanan ilmu dalam dunia Islam, para ilmuwan Muslim berangkat dari membaca Al Qur'an dalam proses penemuannya, misalnya Abu Musa al Jabir ibn Hayyan (721-815), Muhammad ibn Musa al Khawarizmi (780-850), Tsabit ibn Qurrah (9100), Ibn Sina (926), Al Farabi (950), Ibn Batutah (1304-1377), Ibn Khaldun (1332-1406), dan masih banyak tokoh lainnya (Achmadi, 2005:12).
D. Perbandingan Aksiologi Sains Islam dan Barat
Dalam kaitannya dengan aksiologi, Sains Barat mengakui otonomi ilmu secara murni dengan kebebasan mempelajari ilmu sebagaimana adanya. Dalam kaitannya dengan nilai moral, secara garis besar sains Barat terbagi menjadi dua pandangan:
1. Golongan ilmuwan yang menganggap bahwa ilmu haruslah berdiri atas otonominya sendiri, netral, dan tidak terikat pada nilai moral apapun
2. Golongan yang berpendapat bahwa penggunaan ilmu harus tetap berlandaskan pada moral dan etika tanpa merendahkan martabat manusia
Adapun aksiologi sains Islam berpandangan bahwa:
1. Sumber ilmu dan nilai yang utama dalam Islam adalah Al-Quran dan Al-Sunnah. Kedua sumber ini mengajar manusia nilai-nilai etika dan estetika, sosial, keadilan, keikhlasan, kejujuran, kesopanan, kesetiaan, amanah, tanggungjawab dan lainnya
2. Setiap muslim wajib mempelajari Al-Quran dan Al-Sunnah, memahaminya dan merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya
3. Sistem nilai dalam Islam ditetapkan oleh Allah dan dinilai olehNya, setiap muslim terikat dengan nilai ini.

Source : http://nurisaariyanto.blogspot.com/2012/01/aksiologi-sains-islam-dan-barat_09.html

No comments:

Post a Comment