PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu
merupakan hasil karya perorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat, dengan kata lain, ilmu diciptakan oleh
perseorangan dan bersifat individual, namun komunikasi dan penggunaan
ilmu adalah bersifat social (Suriasumantri, 1995:237). Menurut Sondang P
Siagian dalam Ahmad Tafsir (2007: 25), ilmu adalah suatu objek ilmiah
yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, rumus, yang melalui percobaan
sistematis dan dilakukan berulang kali, telah teruji kebenarannya;
prinsip-prinsip, dalil-dalil, rumus-rumus mana dapat diajarkan dan
dipelajari. Dengan adanya kemajuan di bidang keilmuan, pemenuhan
kebutuhan manusia menjadi lebih cepat dan lebih mudah dilakukan.
Mohammad Hatta mendefinisikan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang teratur
tentang pekerjaan hokum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama
tabiatnya, maupun menrut kedudkannya tampak dari luar, maupun menurut
bangunannya dari dalam (Kallsolt, 2004:15)
Saat
ini ilmu bahkan telah berada di ambang kemajuan yang teramat pesat,
sehingga bahkan mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu
sendiri, jadi, ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun
bahkan juga dapat mungkin merubah hakikat kemanusiaan. ia bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun
bahkan mungkin dapat mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri (Suriasumantri, 1995:231).
Filsafat
sebagai kumpulan teori filsafat digunakan untuk memahami dan mereaksi
dunia pemikiran. selain itu, filsafat juga dipandang sebagai pandangan
hidup yang berfungsi mirip seperti agama. Disinilah kemudian filsafat
sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik
secara lengkap tentang seluruh realitas, memberi manfaat dengan
mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh dapat
dipahami sumber, hakikat, dan tujuan ilmu (Kallsolt, 2004:21).
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios, yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori, jadi aksiologi adalah teori tentang nilai (Salam,
1997:168). Menurut Bramel, aksiologi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
pertama, moral conduct, yakni tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika. kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan. ketiga, sosio political life,
yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat sosio
politik (Jalaluddin, 1997: 106). Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan (Kallsolt, 2004:318). Tafsir (2007: 25) berpendapat bahwa
aksiologi adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas mulai dari
klasifikasinya, kemudian dengan melihat tujuan pengetahuan itu sendiri,
akhirnya dilihat perkembangannya. Adapun Suriasumantri menyatakan bahwa
aksiologi merupakan nilai kegunaan ilmu, dan untuk apa ilmu itu
dipergunakan. pertanyaan landasan
aksiologis yaitu, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu
dipergunakan? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? bagaimana penentuan objek dan metode yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral? bagaimana korelasi antara teknik
procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral? (Suriasumantri, 1995:33). Objek telaah aksiologi
adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas milai dari klasifikasinya,
tujuan pengetahuan serta perkembangannya, jadi,yang menjadi landasan
dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan,
bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika, bagaimana
penentuan objek yang diteliti secara moral, bagaimana kaitan prosedur
ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral (Tafsir, 2007:11).
Dalam penerapannya, ilmu dapat dibedakan menjadi (Achmadi, 2004:28):
1. Ilmu
murni (pure science), yaitu ilmu tersebut hanya murni bermanfaat untuk
ilmu itu sendiri dan berorientasi pada teoritisasi, dalam arti ilmu
pengetahuan murni tersebut terutama bertujuan untuk membentuk dan
mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak yakni untuk mempertinggi
mutunya
2. Ilmu
praktis (applied science). Ilmu tersebut praktis langsung dapat
diterapkan kepada masyarakat karena ilmu itu sendiri betujuan untuk
mempergunakan hal ikhwal ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat
banyak dan dilakukan untuk membantu masyarakat dalam menghadapi
masalah-masalah yang dihadapinya
3. Ilmu
campuran,yaitu ilmu yang selain ilmu murni juga merupakan ilmu terapan
praktis karena dapat langsung dipergunakan dalam kehidupan masyarakat
umum.
Sedangkan dalam fungsi kerjanya, ilmu dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Ilmu teoritis rasional, misalnya dogmatis hukum
2. Ilmu empiris praktis, misalnya dalam pekerjaan sosial atau dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
3. Ilmu teoritis empiris, yaitu yang menggabungkan keduanya, dengan menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif.
Dari
beberapa definisi aksiologi diatas, terlihat bahwa permasalahan utama
adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki
manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika
dan estetika (Tafsir, 2007:165).
B. Aksiologi Sains Barat
Perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan beragam kemudahan bagi
kehidupan manusia. Namun selain itu, di pihak lain ilmu juga dapat
berakibat sebaliknya yaitu membawa kehancuran dan malapetaka. Menghadapi
hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada dasarnya mempelajari alam
sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan apakah berkaitan erat dengan
nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nilai moral dan agama
sebenarnya sudah terbantahkan ketika Copernicus (1473-1543) mengemukakan
teori bumi yang berputar mengelilingi matahari, sedangkan ajaran agama
pada saat itu menilai sebaliknya. Disitulah timbul konflik yang
bersumber pada penafsiran metafisik, yang akhirnya berujung pada
pengadilan Galileo (1564-1642) yang dipaksa mencabut pernyataannya bahwa
bumi berputar mengelilingi matahari. Pengadilan Inkuisisi yang
berlangsung selama kurang lebih dua setengah abad ini mempengaruhi
proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini, para
ilmuwan Barat berjuang untuk menegakkan ilmu berdasar penafsiran alam
sebagaimana semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Setelah pertarungan itulah
para ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu,
artinya kebebasan dalam melakukan penelitiannya dalam rangka
mempelajari alam sebagaimana adanya (Suriasumantri, 1995:233).
Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang
terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatic, ilmu dengan leluasa
dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret
seperti teknologi. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana dengan teknologi
yang menimbulkan ekses yang negative terhadap masyarakat? Dihadapkan
dengan masalah moral dalam ekses ilmu yang bersifat merusak, para
ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat:
1. Golongan
pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai. dalam hal ini, ilmuwan hanya menemukan pengetahuan dan
terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan
dipergunakan untuk hal yang baik maupun buruk. Golongan ini ingin
melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total.
2. Golongan
kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah
terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah
berlandaskan nilai-nilai moral dan harus ditujukan untuk kepentingan
manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan,
dengan alasan bahwa ilmu secara faktual telah digunakan secara
destruktif oleh manusia,yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia
yang menggunakan teknologi-teknologi keilmuan; ilmu telah berkembang
dengan pesat sehingga ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang
mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan; dan ilmu telah berkembang
sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah
manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi
genetika dan teknik perbuatan sosial (Suriasumantri, 1984:235).
Dalam
kaitannya dengan kaidah moral,pengembangan ilmu dan teknologi jika
mengabaikan nilai-nilai etis maka akan menimbulkan dampak buruk.
Penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor
dapat mengintai kenyamanan dan privasi orang lain, penemuan bayi tabung
dapat mengancam peradaban perkawinan, maupun contoh lainnya.
C. Aksiologi Sains Islam
Sejak
awal kehadirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar
kepada ilmu. Wahyu pertama yang diturunkan pada Rasulullah Muhammad
adalah "iqra'" atau perintah untuk membaca. Jibril memerintah Muhammad
untuk membaca dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Jadi, dari
kata iqra' inilah, umat Islam diperintah untuk membaca yang kemudian
lahir makna untuk memahami, mendalami, menelaah, menyampaikan, maupun
mengetahui dengan dilandasi "bismi rabbik", dalam arti, hasil-hasil
bacaan dan pemahaman itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan
(Shihab, 2001:433). Al Qur’an dan hadits kemudian dijadikan sebagai
sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spectrum yang
seluas-luasnya (Achmadi, 2005:33)
Ilmu
pengetahuan dalam sejarah tradisi Islam tidaklah berkembang pada arah
yang tak terkendali, melainkan pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk
mengendalikannya.Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat
tempat yang utuh. Eksistensi ilmu pengetahuan bukan saja untuk mendesak
pengetahuan, melainkan kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan
untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Yang
Maha Pencipta. Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteknya, dan agama
yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada
tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi
Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan
tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada praksisnya atau
kemudahan-kemudahan pada material duniawi. Solusi yang diberikan Al
Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikan dengan nilai adalah dengan
cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia
menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam, bukan sebaliknya
membawa mudharat atau penderitaan (Tafsir, 1997:173). Ilmu tidaklah
bebas nilai, karena antara logika dan etika harus berdialektika, jadi
bukan hanya penggabungan ilmu dan agama saja. Akal digunakan dengan
mengoperasionalkan otak, berusaha mencari kebenaran sesuai dengan
kemampuan ilmu pengetahuan masing-masing. Hal ini akan menimbulkan
logika yang menjadikan manusia sebagai seorang intelektual atau ilmuwan.
Dalam Islam, ilmu senantiasa didasarkan pada Al Qur'an agar tidak bebas
nilai. Nilai dalam Islam
tidak berdasarkan sesuatu adat dan budaya tetapi berdasarkan wahyu dan
kehendak Allah. Melakukan yg wajib adalah diperintah oleh Allah dan
disukaiNya sehingga mendapat ganjaran kebajikan. adapun jika melakukan yang haram dan dibenci oleh Allah maka pantas baginya balasan yang buruk.
Seorang
ilmuwan muslim tidak hanya diharapkan berkata benar,namun juga
baik,indah dan bernilai, misalnya jika seorang ilmuwan sekuler berkata
bahwa untuk bebas dari penyakit kelamin harus memakai kondom jika
berhubungan dengan pelacur, maka ilmuwan muslim berkata bahwa
berhubungan dengan pelacur itu dilarang dalam islam. Contoh lain dari
kebenaran akal yang tidak beretika moral misalnya menceraikan istri yang
tidak dapat memberi anak, sistem perang atau jihad yang tidak
berperikemanusiaan, menampar murid yang tidak bisa menjawab soal, dan
lainnya.
Prinsip-prinsip
semua ilmu dipandang oleh kaum muslimin berada dalam Al Qur'an, dan Al
Qur'an dan hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu
dengan menekankan keutamaan menuntut ilmu, dan pencarian ilmu apapun
pada akhirnya bermuara pada penegasan tauhid. Dalam perjalanan ilmu
dalam dunia Islam, para ilmuwan Muslim berangkat dari membaca Al Qur'an
dalam proses penemuannya, misalnya Abu Musa al Jabir ibn Hayyan
(721-815), Muhammad ibn Musa al Khawarizmi (780-850), Tsabit ibn Qurrah
(9100), Ibn Sina (926), Al Farabi (950), Ibn Batutah (1304-1377), Ibn
Khaldun (1332-1406), dan masih banyak tokoh lainnya (Achmadi, 2005:12).
D. Perbandingan Aksiologi Sains Islam dan Barat
Dalam
kaitannya dengan aksiologi, Sains Barat mengakui otonomi ilmu secara
murni dengan kebebasan mempelajari ilmu sebagaimana adanya. Dalam
kaitannya dengan nilai moral, secara garis besar sains Barat terbagi
menjadi dua pandangan:
1. Golongan
ilmuwan yang menganggap bahwa ilmu haruslah berdiri atas otonominya
sendiri, netral, dan tidak terikat pada nilai moral apapun
2. Golongan yang berpendapat bahwa penggunaan ilmu harus tetap berlandaskan pada moral dan etika tanpa merendahkan martabat manusia
Adapun aksiologi sains Islam berpandangan bahwa:
1. Sumber ilmu dan nilai yang utama dalam Islam adalah Al-Quran dan Al-Sunnah.
Kedua sumber ini mengajar manusia nilai-nilai etika dan estetika,
sosial, keadilan, keikhlasan, kejujuran, kesopanan, kesetiaan, amanah,
tanggungjawab dan lainnya
2. Setiap muslim wajib mempelajari Al-Quran dan Al-Sunnah, memahaminya dan merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya
3. Sistem nilai dalam Islam ditetapkan oleh Allah dan dinilai olehNya, setiap muslim terikat dengan nilai ini.Source : http://nurisaariyanto.blogspot.com/2012/01/aksiologi-sains-islam-dan-barat_09.html
No comments:
Post a Comment